Selasa, 19 Agustus 2008

Temu IKAPFOS 08

assalamu'alaikum Wr. Wb

Mengundang antum/na dalam temu alumni yang insya Allah akan dilaksanakan pada hari Ahad, 12 Oktober 2008. daftarkan segera pada Contact Person di bawah ini...
ikhwan : Akh Dian P 085229007304
Akh Junaidi 085725449897
Akh Reo 085725659195
akhwat : Ukh Anggrek 08121510753
Ukh Dayu 085642480454
Ukh Miladina 085642104066
atau isi biodata selengkapnya dengan Format sebagai berikut
nama :
nama panggilan :
angkatan :
tempat tanggal lahir :
alamat :
email :
blog :
no Hp :
pekerjaan :
status :
untuk format biodata tersebut diatas dapat dikirimkan langsung melalui email ikapfos
ikapfos08_fh_uns@yahoo.com atau ke alamat Sek. Ged 1 FOSMI FH UNS Jl. Ir. Sutami No 36A, Kentingan Jebres Surakarta.
mengharapkan kehadiran antum/na untuk menyukseskan acara tersebut. atas partisipasinya kami mengucapkan terima kasih.
Infaq : Rp. 20.000,-
No Rek : 1350006447 a.n. Muhammad Yusuf BSM cab. Pasar Kliwon

wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Sabtu, 02 Agustus 2008

ikatan alumni FOSMI Fakultas Hukum UNS

Assalamu'alaikum wr.wb.
FOSMI dah punya blogspot nieh.....buat alumni FOSMI yg mau crita/sharing/kasih info buat temen2 yg lain masuk aj ke blogspot nie ya......
email: nana_manizz@yahoo.com
password blogspot: nanarositasari
Syukron
Wassalamu'alaikum wr.wb.

Kader Dakwah Yang Solid

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

dakwatuna.com - “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Anfal: 45-46)
Kata kunci dari ayat ini dalam konteks soliditas adalah At-Tanazu’ yang ditafsirkan oleh para ulama tafsir seperti Ibnu Katsir dan Abu Su’ud sebagai perselisihan pendapat yang menjurus kepada perdebatan dan perpecahan untuk mengunggulkan kepentingan dan orientasi tertentu seperti yang terjadi pada perang Uhud dimana beberapa sahabat yang sudah jelas tugasnya, malah tidak mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan lebih memilih pendapat mereka masing-masing demi meraih keuntungan duniawi yang bersifat semu dan sesaat.
Sayyid Quthb memahami kedua ayat ini dan satu ayat sesudahnya sebagai rangkaian faktor untuk meraih pertolongan Allah dan anugerah kemenangan dari-Nya. Seperti juga Ibnu Athiyah menyebutkan bahwa surah Al-Anfal: 45-46 merupakan perintah Allah langsung agar orang- orang beriman tetap teguh untuk meraih janji kemenangan dan pertolongan Allah swt. Di antara faktor yang harus menjadi perhatian serius adalah faktor menjauhi dan menghindar dari hal-hal yang menyebabkan perselisihan, perpecahan dan perdebatan yang berujung kepada su’udz dzan dan ketidak harmonisan hubungan ukhuwwah antar seluruh personal dakwah, karena faktor ini ternyata dapat mempengaruhi dan memberi dampak pada faktor-faktor yang lainnya.
Ayat yang senada dengan peringatan Allah di atas adalah :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran: 103).
Kata kunci dari ayat ini adalah “At-Tafarruq” yang secara makna mirip dengan kata “At-tanazu’” yang menjadi kata kunci ayat sebelum ini. At-Tafarruq merupakan penyakit dakwah yang akan memporak-porandakan bangunan ukhuwwah dalam dakwah. Padahal ukhuwwah merupakan sendi dan pondasi dakwah seperti yang dituturkan oleh Sayyid Quthb dan realisasi dari bangunan taqwa yang menjadi pondasi utama gerakan dakwah seperti yang diisyaratkan oleh Allah melalui ayat ini dan ayat sebelumnya. Dengan kedua pondasi ini, bangunan dakwah akan kuat, solid, hidup dan dinamis serta mampu menjalankan peran Amar Ma’ruf Nahi Munkar seperti yang difahami secara korelatif dari ayat setelahnya.
Ukhuwwah yang dimaksud adalah ukhuwwah fiLlah, ala ManhajiLlah dan Litahqiq manhajiLlah (ukhuwwah karena Allah, atas dasar manhaj Allah dan untuk merealisasikan manhaj-Nya).Kemudian ayat berikutnya yang berada di akhir surah Ali Imran yang menjadi perintah Allah dalam konteks dakwah dan perjuangan adalah senantiasa teguh dan kokoh dalam kesabaran karena memang perjalanan dakwah tidak mengenal kata akhir sehingga dibutuhkan kesabaran yang ekstra dan ini merupakan syarat untuk meraih kemenangan dan kejayaan (Al-Falah). Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 200)
Cukuplah tiga rangkaian ayat-ayat di atas menjadi bahan tadabbur dan refleksi kita untuk mengukur sejauh mana peringatan dan pesan Allah tersebut senantiasa mewarnai seluruh gerak dan dinamika dakwah ini. Begitulah memang dakwah yang terdiri dari beragam komponen yang harus saling bersepadu, ibarat sebagai sebuah kendaraan (karena dakwah seringkali diilustrasikan dengan kendaraan) dengan beragam komponen dan onderdil yang menyatu dengannya; roda, kemudi, busi, aki dan sebagainya, termasuk yang paling urgen di dalamnya adalah mesin kendaraan. Bergeraknya sebuah kendaraan; lamban atau cepat ditentukan dengan peran seluruh komponen yang ada. Dinamisnya sebuah dakwah sangat ditentukan oleh seluruh komponen dakwah dari para kader yang dimilikinya, media dan fasilitas penunjang serta para pemimpin yang bijak yang memberi arahan dan keputusan yang tepat.
Dalam perjalanannya, seluruh komponen kendaraan tadi tentunya memerlukan perawatan, pemeliharaan dan servis yang berkesinambungan agar laju gerak kendaraan bisa tetap stabil, terukur dan terarah. Begitupula dengan dakwah, seluruh komponen dakwah sangat membutuhkan penyegaran, perhatian dan pembinaan yang berterusan dan berkesinambungan secara bertahap sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Disinilah peri pentingnya soliditas kader yang menjadi mesin penggerak roda dakwah.
Di usia dakwah yang sedang menginjak usia matang, maka tantangan ke depan akan lebih variatif, namun tetap kekuatan yang akan bisa melawannya adalah soliditas kader. Meminjam istilah Muhammad quthb bahwa gerak roda dakwah ditentukan oleh gerak aktif para da’i (kader dakwah). Di tangan mereka dakwah ini maju, berkembang dan menebar kebaikan. Ketika da’i mengalami kelesuan apalagi kemandekan, maka akan sangat berpengaruh kepada perjalanan dakwah itu sendiri.
Dalam konteks soliditas ini, paling tidak terdapat dua suplemen utama dalam rangka membangun soliditas internal para da’i (kader dakwah), yaitu kematangan spritualitas dan kekokohan moralitas. Kematangan spritualitas merupakan cermin kedekatan dan keharmonisan hubungan dengan sang Khaliq. Sedangkan kekokohan moralitas merupakan bukti keteladanan kader dakwah di tengah masyarakat. Dua potensi inilah menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud yang akan menjadi back up di masa-masa sulit dan masa pancaroba dakwah yang harus menjadi fokus perhatian dakwah. Karena sesungguhnya persoalan inti dakwah dalam tinjauan anashirnya bukan pada wasilah, uslub atau madah dakwah, tetapi yang lebih utama adalah persoalan da’i (kader dakwah) itu sendiri yang menjadi sentral perjalanan dakwah.
Betapa banyak tentunya pesan dan arahan Allah yang ditujukan khusus kepada para da’i-Nya agar dakwah ini tetap berjalan di atas rel yang diridhoi-Nya dan membuahkan hasil berupa kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Jangan sampai citra dakwah justru tercoreng sendiri oleh para da’i-Nya “Ad-Dakwatu Mahjubatun bid Du’at”. Allahu a’lam

Kader Dakwah Yang Solid

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

dakwatuna.com - “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Anfal: 45-46)
Kata kunci dari ayat ini dalam konteks soliditas adalah At-Tanazu’ yang ditafsirkan oleh para ulama tafsir seperti Ibnu Katsir dan Abu Su’ud sebagai perselisihan pendapat yang menjurus kepada perdebatan dan perpecahan untuk mengunggulkan kepentingan dan orientasi tertentu seperti yang terjadi pada perang Uhud dimana beberapa sahabat yang sudah jelas tugasnya, malah tidak mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya dan lebih memilih pendapat mereka masing-masing demi meraih keuntungan duniawi yang bersifat semu dan sesaat.
Sayyid Quthb memahami kedua ayat ini dan satu ayat sesudahnya sebagai rangkaian faktor untuk meraih pertolongan Allah dan anugerah kemenangan dari-Nya. Seperti juga Ibnu Athiyah menyebutkan bahwa surah Al-Anfal: 45-46 merupakan perintah Allah langsung agar orang- orang beriman tetap teguh untuk meraih janji kemenangan dan pertolongan Allah swt. Di antara faktor yang harus menjadi perhatian serius adalah faktor menjauhi dan menghindar dari hal-hal yang menyebabkan perselisihan, perpecahan dan perdebatan yang berujung kepada su’udz dzan dan ketidak harmonisan hubungan ukhuwwah antar seluruh personal dakwah, karena faktor ini ternyata dapat mempengaruhi dan memberi dampak pada faktor-faktor yang lainnya.
Ayat yang senada dengan peringatan Allah di atas adalah :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Ali Imran: 103).
Kata kunci dari ayat ini adalah “At-Tafarruq” yang secara makna mirip dengan kata “At-tanazu’” yang menjadi kata kunci ayat sebelum ini. At-Tafarruq merupakan penyakit dakwah yang akan memporak-porandakan bangunan ukhuwwah dalam dakwah. Padahal ukhuwwah merupakan sendi dan pondasi dakwah seperti yang dituturkan oleh Sayyid Quthb dan realisasi dari bangunan taqwa yang menjadi pondasi utama gerakan dakwah seperti yang diisyaratkan oleh Allah melalui ayat ini dan ayat sebelumnya. Dengan kedua pondasi ini, bangunan dakwah akan kuat, solid, hidup dan dinamis serta mampu menjalankan peran Amar Ma’ruf Nahi Munkar seperti yang difahami secara korelatif dari ayat setelahnya.
Ukhuwwah yang dimaksud adalah ukhuwwah fiLlah, ala ManhajiLlah dan Litahqiq manhajiLlah (ukhuwwah karena Allah, atas dasar manhaj Allah dan untuk merealisasikan manhaj-Nya).Kemudian ayat berikutnya yang berada di akhir surah Ali Imran yang menjadi perintah Allah dalam konteks dakwah dan perjuangan adalah senantiasa teguh dan kokoh dalam kesabaran karena memang perjalanan dakwah tidak mengenal kata akhir sehingga dibutuhkan kesabaran yang ekstra dan ini merupakan syarat untuk meraih kemenangan dan kejayaan (Al-Falah). Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. (Ali Imran: 200)
Cukuplah tiga rangkaian ayat-ayat di atas menjadi bahan tadabbur dan refleksi kita untuk mengukur sejauh mana peringatan dan pesan Allah tersebut senantiasa mewarnai seluruh gerak dan dinamika dakwah ini. Begitulah memang dakwah yang terdiri dari beragam komponen yang harus saling bersepadu, ibarat sebagai sebuah kendaraan (karena dakwah seringkali diilustrasikan dengan kendaraan) dengan beragam komponen dan onderdil yang menyatu dengannya; roda, kemudi, busi, aki dan sebagainya, termasuk yang paling urgen di dalamnya adalah mesin kendaraan. Bergeraknya sebuah kendaraan; lamban atau cepat ditentukan dengan peran seluruh komponen yang ada. Dinamisnya sebuah dakwah sangat ditentukan oleh seluruh komponen dakwah dari para kader yang dimilikinya, media dan fasilitas penunjang serta para pemimpin yang bijak yang memberi arahan dan keputusan yang tepat.
Dalam perjalanannya, seluruh komponen kendaraan tadi tentunya memerlukan perawatan, pemeliharaan dan servis yang berkesinambungan agar laju gerak kendaraan bisa tetap stabil, terukur dan terarah. Begitupula dengan dakwah, seluruh komponen dakwah sangat membutuhkan penyegaran, perhatian dan pembinaan yang berterusan dan berkesinambungan secara bertahap sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Disinilah peri pentingnya soliditas kader yang menjadi mesin penggerak roda dakwah.
Di usia dakwah yang sedang menginjak usia matang, maka tantangan ke depan akan lebih variatif, namun tetap kekuatan yang akan bisa melawannya adalah soliditas kader. Meminjam istilah Muhammad quthb bahwa gerak roda dakwah ditentukan oleh gerak aktif para da’i (kader dakwah). Di tangan mereka dakwah ini maju, berkembang dan menebar kebaikan. Ketika da’i mengalami kelesuan apalagi kemandekan, maka akan sangat berpengaruh kepada perjalanan dakwah itu sendiri.
Dalam konteks soliditas ini, paling tidak terdapat dua suplemen utama dalam rangka membangun soliditas internal para da’i (kader dakwah), yaitu kematangan spritualitas dan kekokohan moralitas. Kematangan spritualitas merupakan cermin kedekatan dan keharmonisan hubungan dengan sang Khaliq. Sedangkan kekokohan moralitas merupakan bukti keteladanan kader dakwah di tengah masyarakat. Dua potensi inilah menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud yang akan menjadi back up di masa-masa sulit dan masa pancaroba dakwah yang harus menjadi fokus perhatian dakwah. Karena sesungguhnya persoalan inti dakwah dalam tinjauan anashirnya bukan pada wasilah, uslub atau madah dakwah, tetapi yang lebih utama adalah persoalan da’i (kader dakwah) itu sendiri yang menjadi sentral perjalanan dakwah.
Betapa banyak tentunya pesan dan arahan Allah yang ditujukan khusus kepada para da’i-Nya agar dakwah ini tetap berjalan di atas rel yang diridhoi-Nya dan membuahkan hasil berupa kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Jangan sampai citra dakwah justru tercoreng sendiri oleh para da’i-Nya “Ad-Dakwatu Mahjubatun bid Du’at”. Allahu a’lam

Ahlan Wa Sahlan Alumni

Assalamualaikum wr wb
Saya selaku Ketua FOSMI FH UNS periode 2008 mengucapkan selamat datang bagi para alumni FOSMI FH UNS dari angkatan kapanpun dan sekarang di manapun. Semoga tetap istiqomah di jalan dakwah.
Semoga blogger ini bisa menjadi ajang untuk menjalin ukhuwah bagi alumni FOSMI FH UNS
ALLAHU AKBAR
Semoga MUNTIJAH
Wassalaamualaikum wr wb
M SILMAN WIDADI
E0005211

Taujih


Melukis Keindahan Hidup
Oleh: Muhammad Nuh

dakwatuna.com - Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan berbentuk benang kusut.
Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat, penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, kadar kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.
Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan terbunuhnya sel-sel otak.
Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali, tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain: penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.
Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.
Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama, salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.
Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah yang sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma sekadar tempelan.
Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” (Al-Bukhari)
Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, dan dibentuk.
Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia. Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit. Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang dalam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (Al-Balad: 10-11)
Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus segar dalam jiwa seorang hamba Allah. Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir.
Masih banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.

dakwatuna.com - Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan berbentuk benang kusut.
Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat, penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, kadar kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.
Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan terbunuhnya sel-sel otak.
Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali, tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain: penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.
Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.
Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama, salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.
Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah yang sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma sekadar tempelan.
Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” (Al-Bukhari)
Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, dan dibentuk.
Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia. Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit. Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang dalam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (Al-Balad: 10-11)
Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus segar dalam jiwa seorang hamba Allah. Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir.
Masih banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.

Taujih


Melukis Keindahan Hidup
Oleh: Muhammad Nuh

dakwatuna.com - Menapaki jalan hidup kadang seperti menggoreskan koas pada sebuah bahan lukisan. Mulus tidaknya goresan sangat bergantung pada jiwa sang pelukis. Jangan biarkan jiwa kering dan gersang. Karena lukisan hanya akan berbentuk benang kusut.
Bayangkan saat diri tertimpa musibah. Ada reaksi yang bergulir dalam tubuh. Tiba-tiba, batin diselimuti khawatir akibat rasa takut, tidak aman, cemas dan ledakan perasaan yang berlebihan. Tubuh menjadi tidak seimbang. Muncullah berbagai reaksi biokimia tubuh: kadar adrenalin dalam darah meningkat, penggunaan energi tubuh mencapai titik tertinggi; gula, kolesterol, dan asam-asam lemak ikut tersalur dalam aliran darah. Tekanan darah pun meningkat. Denyutnya mengalami percepatan. Saat glukosa tersalurkan ke otak, kadar kolesterol naik. Setelah itu, otak pun meningkatkan produksi hormon kortisol dalam tubuh. Dan, kekebalan tubuh pun melemah.
Peningkatan kadar kortisol dalam rentang waktu lama memunculkan gangguan-gangguan tubuh. Ada diabetes, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, luka pada dinding saluran pencernaan, gangguan pernafasan, dan terbunuhnya sel-sel otak.
Nalar pun menjadi tidak sehat. Tidak heran jika orang bisa melakukan sesuatu yang tidak wajar. Di antaranya, bunuh diri, marah yang tak terkendali, tertawa dan menangis yang berlebihan, serta berbagai pelarian lain: penggunaan narkoba dan frustasi yang berlarut-larut.
Kenapa hal tak enak itu bisa mulus bergulir pada diri manusia. Mungkin itu bisa dibilang normal, sebagai respon spontan dari kecenderungan kuat ingin merasakan hidup tanpa gangguan. Tanpa halangan. Tak boleh ada angin yang bertiup kencang. Tak boleh ada duri yang menusuk tubuh. Bahkan kalau bisa, tak boleh ada sakit dan kematian buat selamanya.
Ada beberapa hal kenapa kecenderungan itu mengungkung manusia. Pertama, salah paham soal makna hidup. Kalau hati tak lagi mampu melihat secara jernih arti hidup, orang akan punya penafsiran sendiri. Misalnya, hidup adalah upaya mencapai kepuasan. Lahir dan batin. Padahal kepuasan tidak akan cocok dengan ketidaknyamanan, gangguan, dan kesulitan.
Hal itulah yang bisa menghalangi seorang mukmin untuk berjihad. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Kedua, kurang paham kalau keimanan selalu disegarkan dengan cobaan. Inilah yang sulit terpahami. Secara teori mungkin orang akan tahu dan mungkin hafal. Tapi ketika cobaan sebagai sebuah kenyataan, reaksi akan lain. Iman menjadi cuma sekadar tempelan.
Firman Allah swt., “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Saad bin Abi Waqqash pernah bertanya pada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, siapa yang paling berat ujian dan cobaannya?” Beliau saw. menjawab, “Para nabi kemudian yang menyerupai mereka dan yang menyerupai mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamanya lemah dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa.” (Al-Bukhari)
Kalau ada anggapan, dengan keimanan hidup bisa mulus tanpa mengalami kesusahan dan bencana. Itu salah besar. Justru, semakin tinggi nilai keimanan seseorang, akan semakin berat cobaan yang Allah berikan. Persis seperti emas yang diolah pengrajin hiasan. Kian tinggi nilai hiasan, kian keras emas dibakar, ditempa, dan dibentuk.
Memang, hakikat hidup jauh dari yang diinginkan umumnya manusia. Hidup adalah sisi lain dari sebuah pendakian gunung yang tinggi, terjal, dan dikelilingi jurang. Selalu saja, hidup akan menawarkan pilihan-pilihan sulit. Di depan mata ada hujan dan badai, sementara di belakang terhampar jurang yang dalam.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya. “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (Al-Balad: 10-11)
Kesiapan diri tentang jalan hidup yang tak mulus itu mesti ada. Harus terus segar dalam jiwa seorang hamba Allah. Perhatikanlah senyum-senyum para generasi terbaik yang pernah dilukis umat ini. Di antara mereka ada Bilal bin Rabah. Ada Amar bin Yasir.
Masih banyak mereka yang terus tersenyum dalam menapaki pilihan hidup yang teramat sulit. Tanpa sedikit pun ada cemas, gelisah, dan penyesalan. Mereka telah melukis hiasan termahal dalam hidup dengan tinta darah dan air mata.

Keterbatasan

Oleh: Fajar el Shahwah
Inilah komunitas manusia; yang mengelompok bukan karena mereka sama-sama dari satu garis keluarga, bukan karena mereka hidup dan besar dalam satu tempat yang sama, bukan karena mereka mempunyai kesamaan jenis pekerjaan, atau kebiasaan, atau apapun. Tapi komunitas itu mengelompok secara sadar karena kepentingan yang sama. Satu tujuan, satu garis perjuangan. Maka semua orang dalam komunitas itu menyatu padu, bekerja bersama, membahu badan, menyapih bumi, menjulang langit. Maka mewujudlah komunitas itu menjalani takdir sejarahnya. Dari kecil tak terlihat semula, sekarang tak tertampung oleh wadah-wadah besar negara. Bahkan pemikiran-pemikirannya berkembang mengangkasa, melampaui usia jaman pertumbuhan normalnya.Namun perlu dicatat; bahwa komunitas itu adalah kelompok manusia biasa. Sama sekali manusia dengan seluruh sifat kemanusiaan yang melekatinya. Jika malaikat terhindarkan dari kesalahan, penuh nafas ketaatan, selalu tunduk dalam wilayah kebaikan; maka itulah faktanya. Tapi disebut manusia, lebih karena ia harus melakoni karakter kemanusiaannya. Ia tempat salah dan lupa, ia tempat lemah dan putus asa, mengeluh dan sejenisnya. Jika individu manusia dibalut segala kekhasan kemanusiaannya, maka komunitas manusia; tentu hanya mengumpulkan balutan kekhasan kemanusiaan individu-individunya.Mungkin, komunitas akan lebih mampu menjaganya, membuat perisai stabilitas untuk mengontrol tindakan-tindakannya, memperbanyak sifat-sifat malaikat terejawantahkan dalam aksi-aksinya. Tapi, tetap saja mereka adalah manusia yang tidak akan mampu menghilangkan karakter dan watak aslinya. Tetap saja mereka akan membawa sunnah keterbatasannya.Bukan kemudian keterbatasan itu yang menjadi alasan; atas sejumlah kelemahan yang mungkin ada, atas sejumlah kelalaian yang mungkin dibawa. Jika komunitas itu adalah benar kebaikan adanya, maka kebaikan itu pula yang akan menutup keterbatasan komunitas dan individunya, menjadi penebus atas kelemahan dan kelalaian produk-produk karya yang telah dipersembahkannya, dan tentu menjadi penyebab Sang Mahasegala memberi pintu maaf atasnya. Maka tetaplah bekerja; wahai individu-individu! Asal engkau tetap bersemangat dalam komunitas yang engkau yakini kebaikannya dan kelurusannya, maka ia kan menggiringmu; menjadi petunjuk jalan yang membersamaimu beroleh ridha-Nya. ::

Andalusia (711 - 1492 Masehi)

Bismillah. Tekad itu dipancangkan Thariq bin Ziyad. Sebanyak 7.000 orang pasukan yang dipimpinnya -mereka suku Berber dan Arab- telah selamat tiba di dataran Andalusia atau Spanyol. Mereka telah mengarungi selat yang memisahkan tanah Maroko di Afrika Utara dengan Eropa itu. Tanpa ragu sedikit pun Thariq memerintahkan untuk membakar kapal-kapalnya. Pilihannya jelas: terus maju untuk menang atau mati. Tak ada kata untuk mundur dan pulang.Peristiwa di tahun 711 Masehi itu mengawali masa-masa Islam di Spanyol. Pasukan Thariq sebenarnya bukan misi pertama dari kalangan Islam yang menginjakkan kaki di Spanyol. Sebelumnya, Gubernur Musa Ibnu Nushair telah mengirimkan pasukan yang dikomandani Tharif bin Malik Tharif sukses. Kesuksesan itu mendorong Musa mengirim Thariq. Saat itu, seluruh wilayah Islam masih menyatu di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Walid dari Bani Umayah. Thariq mencatat sukses. Ia mengalahkan pasukan Raja Roderick di Bakkah. Setelah itu ia maju untuk merebut kota-kota seperti Cordova, Granada dan Toledo yang saat itu menjadi ibukota kerajaan Gothik. Ketika merebut Toledo, Thariq diperkuat dengan 5.000 orang tentara tambahan yang dikirim Musa. Thariq sukses. Bukit-bukit di pantai tempat pendaratannya lalu dinamai Jabal Thariq, yang kemudian dikenal dengan sebutan Gibraltar. Musa bahkan ikut menyebarang untuk memimpin sendiri pasukannya. Ia merebut wilayah Seville dan mengalahkan Penguasa Gothic, Theodomir. Musa dan Thariq lalu bahu-membahu menguasai seluruh wilayah Spanyol selatan itu. Pada 755 Masehi, Abdurrahman -keturunan Keluarga Umayah yang lolos dari kejaran penguasa Abbasiyah-tiba di Spanyol. Abdurrahman Ad-Dakhil, demikian orang-orang menjulukinya. Ia membangun Masjid Cordova, dan menjadi penguasa tunggal di Andalusia dengan gelar Emir. Keturunannya melanjutkan kekuasaan itu sampai 912 Masehi. Kalangan Kristen sempat mengobarkan perlawanan "untuk mencari kematian" (martyrdom). Namun Dinasti Umayah di Andalusia ini mampu mengatasi tantangan itu. Abdurrahman Al-Aushat kemudian menjadikan Andalusia sebagai pusat ilmu terpenting di daratan Eropa. Pada 912, Abdurrahman An-Nasir mendengar kabar bahwa khalifah Abbasiyah di Baghdad tewas dibunuh. Ia lalu menggunakan gelar khalifah. Ia mendirikan universitas Cordova dengan perpustakaan berisi ratusan ribu buku. Hal demikian dilanjutkan oleh Khalifah Hakam. Pusat-pusat studi dibanjiri ribuan pelajar, Islam dan Kristen, dari berbagai wilayah. Ladang-ladang pertanian Spanyol tumbuh dengan subur mengadopsi kebun-kebun dari wilayah Islam lainnya. Sistem hidraulik untuk pengairan dikenalkan. Andalusia inilah yang mendorong era pencerahan atau renaissance yang berkembang di Italia. Kekacauan timbul setelah Hakam wafat dan kendali dipegang Manshur Billah -seorang ambisius yang menghabisi teman maupun lawan-lawannya. Kebencian masyarakat, baik Islam maupun Kristen mencuat. Situasi tak terkendalikan lagi setelah Manshur Billah wafat. Pada 1013, Dewan Menteri menghapuskan jabatan khalifah. Andalusia terpecah-pecah menjadi sekitar 30 negara kota. Dua kekuatan dari Maghribi sempat menyatukan kembali seluruh wilayah itu. Pertama adalah Dinasti Murabithun (1086-1143) yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pasukan Murabithun datang buat membantu kalangan Islam melawan Kerajaan Castilla. Mereka memutuskan untuk menguasai Andalusia setelah melihat Islam terpecah-belah. Dinasti Muwahiddun, yang menggantikan kekuasaan Murabithun di Afrika Utara, kemudin juga melanjutkan kepemimpinan Islam di Andalusia (1146-1235). Di masa ini, hidup Ibnu Rusyd -seorang pemikir besar yang banyak menafsirkan naskah Aristoteles. Pada 1238 Cordova jatuh ke tangan Kristen, lalu Seville pada 1248 dan akhirnya seluruh Spanyol. Hanya Granada yang bertahan di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1232-1492). Kepemimpinan Islam masih berlangsung sampai Abu Abdullah -meminta bantuan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella-- untuk merebut kekuasaan dari ayahnya. Abu Abdullah sempat naik tahta setelah ayahnya terbunuh. Namun Ferdinand dan Isabella kemudian menikah dan menyatukan kedua kerajaan. Mereka kemudian menggempur kekuatan Abu Abdullah untuk mengakhiri masa kepemimpinan Islam sama sekali. Sejak itu, seluruh pemeluk Islam (juga Yahudi), dikejar-kejar untuk dihabisi sama sekali atau berpindah agama. Kekejian penguasa Kristen terhadap pemeluk Islam itu dibawa oleh pasukan Spanyol yang beberapa tahun kemudian menjelajah hingga Filipina. Kesultanan Islam di Manila mereka bumihanguskan, seluruh kerabat Sultan mereka bantai. Memasuki Abad 16, Tanah Andalusia -yang selama 8 Abad dalam kekuasaan Islam-- kemudian bersih sama sekali dari keberadaan Muslim.
Sumber : http://www.pesantren.net/

Tausiyah


Akibat Suka Berbohong
Kebohongan berawal dari jiwa, lalu merembet pada lisan dan merusak perkataan. Kemudian merembet pada anggota badan dan merusak segala perbuatan. Dan akhirnya kebohongan itu menyelimuti perkataan, perbuatan, dan segala keadaan. (Imam Ibnul Qayyim)
Akibat Cinta Dunia
Sesungguhnya dunia ini hanyalah untuk dilalui dan bukan untuk diramaikan. Hal itu tentunya telah Anda ketahui dan pahami. Apa yang dicapai oleh orang-orang yang sangat cinta dunia hanyalah akan menyakitkan badan dan merusak agamanya. Jika Anda tahu akan hal itu, kemudian Anda meratapi hilangnya sesuatu yang tidak sepatutnya Anda miliki, maka kesedihan itu akan menyiksa Anda, karena kelak Anda akan mengetahui maslahat di balik kehilangan itu. Bersabarlah menerima kesedihan itu sebagai balasan kini, agar Anda selamat dari siksa yang datang kemudian. (Imam Ibnu al-Jauzy)
Al-Quran adalah Kalamullah
Al-Quran adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk maka dia telah kafir. (Imam Syafi’i)
Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah. (Imam Bukhari)
Berpikir Mendalam
Barangsiapa berpikir mendalam dan seksama tentang akhir kehidupan, ia akan senantiasa waspada. Barangsiapa yang yakin akan betapa panjangnya jalan yang akan ditempuh, maka ia akan menyiapkan bekal sebaik-baiknya. Alangkah anehnya manusia yang yakin akan sesuatu, namun ia melupakannya dan betapa anehnya mereka yang mengetahui bahaya sesuatu, namun ia juga menutup mata! (Imam Ibnu al-Jauzy)
Berpijak pada as-Sunnah
Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Saw. maka ambillah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku. (Imam Syafi’i)
Berjuang Melawan Hawa Nafsu
Sesungguhnya, apa yang disebut berjuang melawan hawa nafsu adalah laksana berjuangnya orang sakit yang cerdik. Ia bersabar untuk meminum obat meskipun enggan, karena berharap dirinya sehat. Ia mau berpahit-pahit dan memakan makanan yang sesuai dengan anjuran dokter dan tidak menuruti hawa nafsunya untuk mengkonsumsi apapun yang akan membuatnya menyesal, karena akan tidak diperbolehkan makan selamanya. (Imam Ibnu al-Jauzy)
Berinteraksi dengan al-Quran
Kenikmatan hidup di bawah naungan al-Quran tak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang langsung menjalaninya. (asy-Syahid Sayyid Quthb)
Bekerja
Ketahuilah, keseriusan kita dalam mencari harta akan senantiasa memacu semangat, melapangkan hati, dan memotong seluruh alur keberuntungan kita pada sesama makhluk. Tiada lain hal itu disebabkan jiwa yang memiliki tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi. Syariat menggambarkan bahwa jiwa Anda memiliki hak atas Anda dan pada mata Anda pun ada hak untuk Anda. Perumpamaan perilaku orang-orang yang menempuh kehidupan tanpa harta adalah laksana anjing yang tak pernah tahu siapa yang datang ke rumah mengetuk pintu. (Imam Ibnu al-Jauzy)
Berlebihan Mencintai Wanita
Bagi saya, tak ada yang lebih cepat merusak daripada mabuk akan wanita. Oleh karena setiap kali manusia condong kepada hal-hal yang cantik, elok dan menggiurkan, maka gelegak syahwatnya melonjak melebihi batas yang wajar. Ketika itulah seseorang rawan kehilangan kendali dalam dirinya. (Imam Ibnu al-Jauzy)
Dosa yang Tersembunyi Akan Terlihat Juga
Betapa banyak manusia yang menyembunyikan apa yang tidak Allah ridhai, lalu Dia membongkarnya setelah beberapa lama. Barangkali mereka terperangkap dalam sebuah bencana yang membuat apa yang tersembunyi selama ini menjadi tersingkap di mata manusia. Semua yang terjadi seolah menjadi jawaban terhadap semua dosa yang selama ini pernah mereka lakukan. Manusia harus sadar bahwa ada Zat Yang Maha Membalas perbuatan dosa. Manusia pun harus sadar bahwa tiada berguna dinding yang ia jadikan benteng untuk bersembunyi. Ia pun harus tahu bahwa amal-amalnya tak akan sirna begitu saja laksana debu yang ditiup angin. (Imam Ibnu al-Jauzy)
Hakikat Kehidupan
Pada hakikatnya waktu yang dimiliki manusia adalah usianya dan modal dasar untuk kehidupannya yang abadi di surga yang kekal, atau modal dasar untuk kehidupannya yang sempit di dalam siksaan yang pedih. Waktu itu berlalu seperti berlalunya awan. Siapa yang menggunakan waktunya untuk menaati Allah dan melaksanakan aturan-Nya, maka itulah kehidupan dan umurnya; selain itu tidak dianggap sebagai kehidupannya. Sebaliknya, siapa yang hidup dalam waktunya seperti gaya hidup binatang ternak, menggunakan waktu dalam kelengahan, kelalaian, dan angan-angan kosong, atau sebaik-baik pemanfaatan waktunya adalah untuk tidur dan menganggur, maka kematiannya lebih baik daripada hidupnya. (Imam Ibnul Qayyim)
Hikmah Dibalik Hal-Hal yang Haram
Hal-hal yang haram memang tampak begitu manis. Akan tetapi, di balik itu semua ada celaka yang berujung pada siksaan dan hinaan di dunia dan akhirat. (Imam Ibnu al-Jauzy)
Hikmah Dibalik Musibah
Siapa yang ditimpa musibah, kemudian berusaha untuk menyingkirkannya, hendaklah ia membayangkan kembali apa arti semua itu. Bayangkanlah pahalanya dan kemungkinan diturunkannya bencana yang lebih besar. Orang seperti itu akan merasakan keuntungan dari cara pandang yang demikian. Hendaknya ia membayangkan bahwa cobaan itu akan segera hilang. Sebab, jika bukan karena besarnya cobaan, tak akan ada rasa senang dan tenang. Hendaklah ia sadar bahwa cobaan yang ia alami saat ini adalah laksana tamu yang hanya melepas kebutuhannya yang datang setiap saat. Alangkah cepatnya tamu itu berlalu. Betapa indahnya pujian-pujian yang dilantunkan di tengah-tengah pesta-pesta. Betapa terpujinya sang tuan rumah atas kedermawanannya.
Demikian pula, seorang mukmin yang ditimpa kesulitan hendaknya memperhatikan waktu, mengawasi kondisi jiwa, menjaga anggota badan, agar jangan sampai terucap dari lisan kita suatu kalimat yang tak pantas atau timbul dari dalam hati ini rasa dengki. Jika demikian halnya, maka tampaklah baginya fajar yang menyingsing menghadirkan pahala dan berlalulah malam yang mengusung bala. Tatkala matahari pahala menyingsing, ia telah sampai pada tujuan dengan selamat, melewati segala bencana dengan penuh kesabaran. (Imam Ibnu al-Jauzy)

Rahasia di Balik Sakit


Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan." (QS. al-Anbiyaa’: 35). Sahabat Ibnu ‘Abbas -yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur’an- menafsirkan ayat ini: "Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan". (Tafsir Ibnu Jarir). Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.
Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya. (HR. Muslim)
Sakit akan menghapuskan dosa
Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah engkau lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan dengan seluruh anggota tubuhmu. Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa yang pernah dilakukan. Sebagaimana firman Allah ta’ala, "Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. asy-Syuura: 30). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,"Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya. (HR. Muslim)
Sakit akan Membawa Keselamatan dari Api Neraka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya," Janganlah kamu mencaci maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi. (HR. Muslim).
Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang mukmin mencaci maki penyakit yang dideritanya, menggerutu, apalagi sampai berburuk sangka pada Allah dengan musibah sakit yang dideritanya. Bergembiralah wahai saudaraku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api Neraka." (HR. Al Bazzar, shohih)
Sakit akan mengingatkan hamba atas kelalaiannya
Wahai saudaraku, sesungguhnya di balik penyakit dan musibah akan mengembalikan seorang hamba yang tadinya jauh dari mengingat Allah agar kembali kepada-Nya. Biasanya seseorang yang dalam keadaan sehat wal ‘afiat suka tenggelam dalam perbuatan maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, dia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan Rabb-nya. Oleh karena itu, jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah, dia baru merasakan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan di hadapan Rabb-Nya. Dia menjadi ingat atas kelalaiannya selama ini, sehingga ia kembali pada Allah dengan penyesalan dan kepasrahan diri. Allah ta’ala berfirman yang artinya, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. (QS. al-An’am: 42) yaitu supaya mereka mau tunduk kepada-Ku, memurnikan ibadah kepada-Ku, dan hanya mencintai-Ku, bukan mencintai selain-Ku, dengan cara taat dan pasrah kepada-Ku. (Tafsir Ibnu Jarir)
Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai musibah
Wahai saudaraku, ketahuilah di balik cobaan berupa penyakit dan berbagai kesulitan lainnya, sesungguhnya di balik itu semua terdapat hikmah yang sangat banyak. Maka perhatikanlah saudaraku nasehat Ibnul Qoyyim rahimahullah berikut ini: "Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali, -ed). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia di bawah sinar matahari." (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qodir Jawas)
Ingatlah saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan." (HR. Tirmidzi, shohih). Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami keyakinan dan kesabaran yang akan meringankan segala musibah dunia ini. Amin.
***
dikutip dari
Tulisan: Abu Hasan PutraSumber: Buletin At-Tauhid
Ketika Allah bilang tidak……. Februari 21, 2008
Posted by spanautama in TAUSIAH.

Tiga Kisah Lima Sahabat

dikutip dari penulis : Mochamad Bugi

dakwatuna.com - "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (Al-Baqarah: 245)
Suatu ketika Rasulullah saw. membacakan ayat itu kepada para sahabat. Tiba-tiba Abu Dahdah r.a. berdiri. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, benarkah Allah meminta pinjaman kepada kita?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya, benar." Abu Dahdah kembali berkata, "Wahai Rasulullah, apakah Dia akan mengembalikannya kepadaku dengan pengembalian yang berlipat-lipat?" Rasulullah saw. menjawab, "Ya, benar."
"Wahai Rasulullah, ulurkanlah kedua tangan Anda," pinta Abu Dahdah r.a. tiba-tiba. Rasulullah saw. balik bertanya, "Untuk apa?" Lalu Abu Dahdah menjelaskan, "Aku memiliki kebun, dan tidak ada seorang pn yang memiliki kebun yang menyamai kebunku. Kebun itu akan aku pinjamkan kepada Allah." "Engkau pasti akan mendapatkan tujuh ratus lipat kebun yang serupa, wahai Abu Dahdah," kata Rasulullah saw.
Abu Dahdah mengucapkan takbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" Lantas ia segera pergi ke kebunnya. Ia mendapati istri dan anaknya sedang berada di dalam kebun itu. Saat itu anaknya sedang memegang sebutir kurma yang sedang dimakannya.
"Wahai Ummu Dahdah, wahai Ummu Dahdah! Keluarlah dari kebun itu. Cepat. Karena kita telah meminjamkan kebun itu kepada Allah!" teriak Abu Dahdah.
Istrinya paham betul maksud perkataan suaminya. Maklum, ia seorang muslimah yang dididik langsung oleh Rasulullah saw. Segera ia beranjak dari posisinya. Ia keluarkan kurma yang ada di dalam mulut anaknya. "Muntahkan, muntahkan. Karena kebun ini sudah menjadi milik Allah swt. Ladang ini sudah menjadi milik Allah swt.," ujarnya kepada sang anak.
Subhanallah! Begitulah Ummu Dahdah, seorang wanita yang begitu yakin rezeki datang dari Allah swt. dan bersuamikan seorang sahabat Nabi yang begitu yakin akan janji Allah swt. Kalau saja para suami zaman ini punya istri seperti Ummu Dahdah, pasti mereka akan mudah saja berinfak tanpa berpikir dua kali. Kalau saja para istri zaman sekarang punya suami model Abu Dahdah, pasti mereka akan mendapatkan kemuliaan dari Allah swt.
Sekarang simaklah kisah kedua ini. Suatu hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang banyak. Beliau memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya. "Ambillah harta ini dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu berikan uang tersebut. Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang ia lakukan dengan harta tersebut," begitu perintah Umar kepadanya.
Rupanya Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya. Ketika pembantu Umar sampai di rumah Abu Ubadah, ia berkata, "Amirul Mukminin mengirimkan harta ini untuk Anda, dan beliau juga berpesan kepada Anda, ‘Silakan pergunakan harta ini untuk memenuhi kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki’."
Abu Ubaidah berkata, "Semoga Allah mengaruniainya keselamatan dan kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan pahala yang berlipat." Kemudian ia berdiri dan memanggil hamba sahaya wanitanya. "Kemarilah. Bantu aku membagi-bagikan harta ini!." Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta pemberian Umar itu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum muslimin, sampai seluruh harta ini habis diinfakkan.
Pembantu Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar empat ratus dirham seraya berkata, "Berikan harta ini kepada Muadz bin Jabal!" Umar ingin melihat apa yang dilakukan Muadz dengan harta itu. Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Muadz bin Jabal dan berhenti sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Muadz terhadap harta tersebut.
Muadz memanggil hamba sahayanya. "Kemarilah, bantu aku membagi-bagikan harta ini!" Lalu Muadz pun membagi-bagikan hartanya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum muslimin hingga harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri Muadz melihat dari dalam rumah, lalu berkata, "Demi Allah, aku juga miskin." Muadz berkata, "Ambillah dua dirham saja."
Pembantu Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu dirham, lalu berkata, "Pergilah ke tempat Saad bin Abi Waqqash!" Ternyata Saad pun melakukan apa yang dilakukan oleh dua sahabat sebelumnya. Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan berkata, "Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah."
Begitulah para sahabat ketika mendapat harta. Tidak sampai sehari harta itu diinfakkan dengan begitu ringannya.
Yang ini kisah ketiga. Munginkah kita bisa mencontohnya?
Suatu hari Thalhah bin Ubaidillah r.a. pulang ke rumah dengan membawa uang sebanyak seratus ribu dirham. Istrinya mendapati raut wajah Thalhah begitu bersedih.
Sang istri bertanya, "Apa yang terjadi padamu, wahai suamiku?" Thalhah menjawab, "Harta yang banyak ini, aku takut jika bertemu dengan Allah, lalu aku ditanya tentang dirham ini satu per satu."
Istrinya lalu berkata, "Ini masalah yang sangat mudah. Mari kita bagi-bagikan harta ini. Bawalah harta ini dan bagikan kepada para fakir miskin yang ada di Kota Madinah."
Thalhah pun bersama istrinya meletakkan harta itu di sebuah wadah, lalu membagi-bagikan kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Setelah itu ia kembali ke rumah dan berkata, "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diriku bertemu dengan-Nya sedangkan aku dalam keadaan bersih dan suci."
Subhanallah! Sungguh mereka orang-orang langit yang ringan melepas dunia.

Jumat, 01 Agustus 2008

Kupersembahkan Teruntuk Para Pejuang Yang Berjiddiyah Menjadi Kekasih Allah

Kupersembahkan Teruntuk Para Pejuang Yang Berjiddiyah Menjadi Kekasih Allah

Tuhan Sambunglah Cintaku Yang Terputus Dengan CintaMu Yang Maha Qudus

Teriring senandung Ramadhan yang begitu menyentuh qalbu….Sudahkah kau paham apa arti cinta?. Beruntunglah orang–orang yang mempunyai cita-cita, ambisi atau-pun pengharapan yang tinggi dalam hidupnya. Karena itu adalah buah dari Cinta! dan dengannya-lah manusia bergerak untuk makna sebuah hidup. Tapi sudahkah kita pahami apakah makna dibalik gerak itu? Sudahkah kita pahami kemanakah cita-cita, ambisi, dan pengharapan yang tinggi itu seharusnya diarahkan? Adakah kekuatan disana? Adakah pelajaran yang teramat dalam disana?. Aku-pun belum begitu paham untuk memaparkannya. Karena memang hidup tak sekedar hitam diatas putih. Tapi perlahan kupelajari, bahwa harusnya semua itu adalah karena energi cinta yang begitu agung, begitu suci, begitu penuh pesona!. Hingga membuat segala sesuatu yang hampa menjadi penuh nuansa. Kita-pun sama-sama tahu bahwa hidup kita takkan abadi, kita-pun tahu betul bahwa kita selalu kehausan akan amal, bahkan kita-pun merasa belum yakin akan kebaikan kita tatkala Israil kian dekat mendekap. Tapi anehnya dunia ini terlalu menyibukkan rasa dan pikiran kita untuk lebih peduli dan lebih dalam mengetahuinya dari pada untuk lebih peduli dan lebih dalam merenungi masalah ukhrawi tersebut. Hingga yang sering muncul adalah rasa cinta terhadap dunia.

“Begitulah Allah dengan 99 AsmaNya. Ia tetap mencintai kita meski kita lupa untuk mencintaiNya

Cita-cita, ambisi ataupun pengharapan yang tinggi akan kerajaan dunia membuat kita lalai akan kerajaan kita di syurga. Andaikan dihati kita ada cinta untuk-Nya, mungkin saja masih terbatas karena hanya mengharap nikmat syurga, takut dengan siksa neraka atau mengharap pertolongan-Nya agar hidup di dunia selalu dalam kemudahan& kebahagiaan. Mungkin itu bukan pengharapan yang salah! akan tetapi itu belum-lah menjadi sebuah hakikat cinta pada dan karena Allah yang sesungguhnya. Dan pastinya ia harus belajar, belajar dan belajar lagi akan arti dan tujuan hidup ini. Andai dalam hati itu ada sebenar cinta maka yang menjadi cita-cita, ambisi atau pengharapan tertinggi itu seharusnya adalah Perjumpaan dengan wajahNya dan bersua denganNya tanpa sehelai hijabpun yang menghalanginya.

“Jika Syurga Itu Tiada Masihkah Engkau Setia dan Ikhlas Menghamba Pada-Nya? “

Dunia yang kian panas, kian riuh, kian sesak, kian tercemar, kian bising membuat susah hati untuk khusyuk mengingatNya, kecuali jika kita melarikan hati dan pikiran menuju kesunyian dan kelezatan muhasabah.

Ar-Rahman… Sungguh asma yang teramat indah! apalagi jika kita telah dalam melihat aplikasi asma itu dalam kehidupan kita. Begitu pemurahnya Ia hingga benar-lah bahwa Ia adalah Sang Maha Pemurah, Ia memberi begitu banyak limpahan nikmat pada hamba-hambaNya, sekalipun mereka adalah jahat ataupun kafir. Karena dunia ini bagi-Nya tak lebih mahal harganya daripada sayap seekor nyamuk. Astaqfirullah…! betapa tertipunya kita selama ini, tapi tetap saja kita berlayar dan bahkan berlabuh dibahtera kehinaan itu.

“Berapa Lama Lagi Kita Menjauh Dari Pelabuhan Cinta-Nya?”

Lihatlah! betapa tak berharganya semesta yang begitu megah terpandang mata. Masih saja tiap perbuatan kita ini hanya sebatas pemuasan ego dan ambisi yang buta. Sudahkah ambisi kita akan sekolah, kuliah itu agar Ia Ridho? Atau sekedar agar kita cerdas atau dikatakan memiliki prestise tinggi?, sudahkah ambisi kita untuk pusing, sibuk, bahkan tak jarang murung dalam keletihan menjemput maisyah itu agar Allah Tersenyum? Atau sekedar kebanggaan dan arena penumpukan harta untuk 7 turunan kita mendatang?, sudahkah ambisi kita untuk menikah itu agar cinta kita pada Allah semakin membaja? Atau malah kita membuatNya cemburu karena sibuknya dan terlalu asyiknya kita dengan nafsu yang telah tersalurkan meskipun pada sesuatu yang halal?, sudahkan ambisi kita untuk menaklukkan dunia ini agar Allah semakin sayang? Atau justeru kita terlalu terlelap dalam tarian dunia hingga kita terlupa untuk segera menaiki kereta menuju pulang kepadaNya?.... Hanya hatimu yang mampu berkisah!

“Sepertinya kita masih terlalu cinta dengan dunia dan lebih mendengar apa kata dunia dari pada cinta dan mendengar apa kata Allah…”

Lihat Saja…

Andai ada telpon atau sms yang masuk ke Hp, kita berlari begitu cepatnya untuk mengangkat atau membukanya, lebih cepat dari kilatan petir mungkin!. Padahal saat adzan berkumandang, kita masih saja terdiam dan mengatakan “ kok cepet banget sih sudah adzan bla..bla..”. tanpa ada gerakan untuk bergegas mengambil air wudhu.

Lihat Saja…

Andai Berkas lamaran kerja kita ada yang kurang, mati-matian kita melengkapinya meskipun akan menguras seluruh isi kantong kita, atau andai pulsa kita sudah habis, mati-matian kita cari duit bahkan tak segan pinjam hanya untuk membeli pulsa seharga 10, 20 atau 100 ribu…it’s Ok!. Padahal jika ada kotak infaq didepan kita, untuk mengeluarkan uang 1000 saja merasa sudah banyak, atau masih paaanjang itung-itungnya untuk masukin uang 5000 ke kotak infaq itu. Padahal Allah tak bernah berhitung dengan nikmat yang Ia berikan pada hambaNya, sebagai contoh…dengarkan desahan nafasmu, adakah Allah memberi harga padanya? Andai ada harganya mungkin kita takkan bernafas lagi.

Lihat Saja…

Andai kita sedang berbincang, semua hal kita ungkapkan dengan ringan dan begitu mudah bahkan pada hal yang tak menjadi tema-pun diungkapkan. Tapi kita sangat berat dan susahnya minta ampun untuk mengawali hari dengan sekedar membaca basmallah atau berucap hamdallah akan segala sesuatunya yang telah kita lewatkan, hingga hari esok-pun masih sempat kita jelang.

Lihat Saja…

Andai begitu banyak lowongan kerja, ributnya Masya Allah untuk melamar, antri panjang luar biasa tetap tak jadi soal. Semua tetap di upayakan dengan gigih dan penuh gairah. Tapi kita tak sadar padahal di sisi kita ada lowongan di syurga dan di neraka. Dan kita terlupa untuk mempersiapkan lamaran kesana, bahkan tak terpikir lagi syurga atau neraka yang menjadi tempat terbaik! kita letih dengan Qiyamul lail, kita malas untuk menunaikan dhuha, kita tak begairah untuk membaca dan memahami ayat-ayat cintaNya, pelitnya minta ampun bersedekah, kita gelisah dengan kajian yang tak kunjung usai, kita tertekan dengan nasihat-nasihat bijak yang harusnya dapat menyadarkan kerdil dan lalainya kita, Sungguh! kita tak bergegas untuk itu semua.

Lihat Saja…

Andai Bos kita menyuruh kita menunaikan sebuah amanah, dengan kekuatan ekstra kita tunaikan, bahkan sebelum deadline tetap diupayakan untuk segera selesai. Tapi lihatlah ketika Allah menyeru kita pada jalan-Nya, adakalanya dengan sengaja kita pura-pura tak mendengar atau acuh mengabaikannya& tak jarang menghianatiNya.

Lihat Saja…

Andai uijan semesteran tiba, luarbiasanya kita pinjam catatan kesana-kemari, antri copya-an, belajar sks demi sebuah nilai yang baik atau paling tidak ya “lumayan-lah”. Tapi lihatlah betapa terlenanya kita hingga tak sempat belajar agar kelak kita bisa menjawab dengan baik pertanyaan malaikat kubur

“Lihat saja….lihat saja…lihat saja apa saja yang bisa kau lihat…hingga apa saja yang kau lihat itu akan mampu berbicara padamu kelak”

Hidup ini bukanlah tempat mengeluh akan akibat dari sebuah peristiwa. Karena di sini bukan tempat untuk sebuah hasil tapi tempat bagi proses…ya! proses perjuangan!. Hidup bukan perkara tertawa atau menangis karena hidup bukan perkara bahagia atau sedih tapi hidup adalah perkara pembuktian… ya! pembuktian kesetiaan kita sebagai hamba tanpa peduli Sang Tuan akan memberi kita rasa atau peristiwa apa?!. Karena sejatinya cinta, tak melihat pengorbanan sebagai pengorbanan lagi tapi ia melihat pengorbanan itu sebagai pembuktian!!. Pembuktian Cinta yang Qudus…

“Dunia akan semakin kencang berlari ketika kita mengejarnya. Karena Dunia hanya bisa dikejar jika kita telah berhasil mengejar akhirat, sudahkah kita???

Oleh karena itu jangan bersedih andai tak kau dapatkan apa-apa dari dunia ini selain kehinaan dan keletihan yang teramat jika akhirat telah begitu jauh dalam rengkuhan

Karena Dunia di singgahi setelah Akhirat di diami…”

Presented By Ababil Al-Adawiyah /24 Ramadhan 1429H

Heny EbtaSari 03